pa’e

July 8, 2008

demikianlah aku biasa memanggil sosok bapak yang nggulo wenthah toto lahir dan batin-ku. Terlahir dari keluarga sederhana pasangan Mbah Kakung Moh. Masroeri dan Mbah Putri (Alm) Ummi Qulsum. Bapakku adalah anak pertama dan sekaligus anak laki laki pertama dari 10 bersaudara, maka kalau dilihat dari bonggol sejarah Mbah Moh. Masroeri, maka aku adalah cucu laki laki pertama dari anak laki laki pertama atau lazim disebut dalam teori heriditas adalah galur murni.

Karena terlahir sebagai anak pertama itulah maka bapak-ku tergolong seorang laki laki yang tangguh, bertanggung jawab dan trampil dalam segala hal. Bapaku juga pecinta ilmu pengetahuan dengan bukti buku buku yang dimilikinya cukup bervariasi, baik tentang Kejawen, ke-Islaman dan pengetahuan umum. Ia adalah sosok pengagum Bung Hatta, juga Buya Hamka terbukti dengan adanya buku tafsir al azhar yang komplit ada di perpustakaannya, juga untuk menambah wawasan kekinian, layaknya orang desa yang masih sangat terbatas, beliau bersikeras untuk menyempatkan sebagian dananya untuk berlangganan majalah tempo serta majalah panji masyarakat yang sudah terbiasa aku baca sejak aku berada di bangku sekolah dasar dahulu.

Dalam sejarahnya, bapakku adalah sosok manusia yang dibekali talenta yang cukup bervariasi. Ia pandai menjahit segala jenis pakaian , memasak segala jenis masakan, bahkan trampil dalam bermusik terutama memainkan gitar dan beberapa alat musik lainnya. Aku masih teringat bahwa, pakaian seragam dan pakaian lebaran anak anaknya sejak kecil sampai masa kuliah adalah karya jahitannya. Ketrampilan menjahit ini diwarisi dari ketrampilan orang tuanya (Simbahku). Disamping seorang petani wutun, simbahku di kecamatan Simo terkenal juga sebagai seorang yang mahir menjahit dan menerima jahitan umum sebagai usaha untuk menopang penghasilannya selain dari hasil tani, bahkan aku masih ingat bahwa setelan jas yang aku pakai saat ujian pendadaran skripsi-ku adalah jahitan Simbahku.

Masa muda bapak-ku juga dikenal sebagai seorang aktivis. Sejak usia anak anak saat menuntut ilmu di bangku sekolah rakyat, beliau  sudah aktif di Hisbul Wathon (laskar serbaguna Muhammadiyyah), beliau juga aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia) dan pada masa perkuliahannya beliau juga aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Koordinator Komisariat (Korkom) Kecamatan Simo Boyolali, bahkan sampai masa tuanya kini beliau masih aktif di Muhammadiyyah.

Dari pengalaman tersebut, bapaku dikenal sebagai sosok yang kaya wawasan dan teman diskusi yang baik. Belia bukan sosok yang otoriter apalagi sosok yang garang dimata saya, bahkan seringkali argumentasinya saya patahkan dengan teori teori ilmu pengetahuan moderen, tetapi sekali lagi bapaku tidak pernah kehabisan ide, akal dan wawasan informasi. Selalu saja ada yang baru dan belum diceritakan pada kami kami anaknya.

Memang masa studi di bangku kuliah beliau di Universitas Islam Indonesia (UII) tidak bisa dirampungkannya karena alasan klasik, biaya yang tidak ada lagi…

Tapi sungguh semangat itu masih terpatri dalam benaknya juga benakku sebagai pewaris otak dan semangatnya.

Semangat untuk tetap belajar dan belajar.

Semangat untuk tetap membaca dan membaca.

Kata kata bapaku yang aku ingat sejak aku duduk di bangku SD dahulu adalah ketika beliau menyanyikan lagu Qosidahan dari grup qasidah terkenal dari Semarang “Nasida Ria” yang mendendangkan : “Belajar diwaktu kecil bagai mengukir diatas batu, belajar sesudah besar bagai mengukir diatas air”.

Itulah bapak-ku, inspiratorku. Dalam kesederhanaan dan kebersahajaannya yang memang tidak berlebihan sama sekali.


bu’e

July 8, 2008

panggilan hangat, sebagaimana biasanya aku memanggil perempuan biasa yang bernama Suwarti yang telah melahirkan aku ke dunia fana ini. Ia terlahir dari anak tunggal (ontang anting) dari kedua orang tua desa bernama Mbah Kakung Marto Pawiro dan Mbah Putri Kadiyah. Dari cerita tutur yang aku dengar dari tetangga dan para bekas pengasuh ibuku, menyebutkan bahwa ibuku terkenal dengan kepandaiannya dan kepintarannya meskipun terkesan hidup dalam suasana sedikit mapan dan dimanja ditengah masyarakat desa yang serba terbatas, maklum anak tunggal.

Dalam dunia pendidikan saat sekolah dulu, ibuku terkenal baik dan mudah memahami pelajaran pelajaran dalam ilmu matematika dan ilmu pasti sehingga usai pendidikan dasar di sebuah sekolah rakyat didesanya, ibuku melanjutkan sekolah di tingkat menengah sampai pendidikan atasnya dihabiskan dalam kelas khusus untuk matematika dan IPA di sekolah menengah dan sekolah atas di kota Salatiga.

Kenyataan itu berlanjut dibangku kuliah, ibuku mengambil jurusan matematika di Universitas Gabungan Surakarta (UGS) yang berkampus di Sin Min (sekarang kampus Mesen UNS Solo). Beberapa waktu lalu saat kumpulan dengan sedulur-sedulur ibuku dari Bapaknya, ada Pak Dhe yang berani  menyebutkan, : Seandainya saja ada yang mengarahkan dalam mengambil mata pilihan untuk sekolahnya, sangat mungkin hari ini ibuku adalah pensiunan dari seorang profesor.

Dalam banyak hal sekali lagi, ibuku adalah perempuan biasa saja. Ia bahkan tergolong perempuan yang kaku dan tidak pandai bersosialisasi, ya maklum sesuai dengan kemampuan otak kirinya yang terlalu berlebih, sehingga baik dan cakap jika menangani benda mati namun tidak cakap dan terkesan apatis jika berhubungan dengan mahluk hidup (bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya).

Tapi kenyataan itu aku terima saja sebagai anugerah, ia adalah tetap ibuku, sesering aku marah dan tidak sependapat dengannya, sesering pula aku minta dipijeti dan bercanda dengannya jika aku pulang kampung. Dan diantara kelima anak-nya, aku adalah termasuk orang yang begitu dekat dengan ibuku sebegitu aku dekat dengan bapak ibuknya ibuku terus kegenerasi atasnya sebagai pepundenku.  

Ada banyak cara orang memanggil sosok perempuan yang cukup berjasa layaknya ibuku, ada yang memanggil ibu, ibuk, bu’e, biyung, emak, simbok, simak, ma’e bahkan kalau kata orang kota dan bergaya modern serta kebarat barat-an biasa memanggil dengan sebutan mama atau mamah, atau bahkan mah …

tetap saja ibuku aku panggil bu’e.

bahkan sekarang sering aku panggil beliau biyung untuk membahasakan anak anakku menyebutnya. Dan aku juga ingin agar anak anakku memanggil ibunya adalah bu’e meski sekarang mereka masih memanggilnya dengan sebutan bunda … aku bahkan memanggil istriku dengan ma’e dengan tujuan agar anak anak juga memanggilnya demikian.

Mengapa demikian, aku hanya ingin sekedar mewariskan tradisi sebagaimana blog ini aku dedikasikan.

Ya, hanya untuk sebuah tradisi, tradisi kesederhanaan.