demikianlah aku biasa memanggil sosok bapak yang nggulo wenthah toto lahir dan batin-ku. Terlahir dari keluarga sederhana pasangan Mbah Kakung Moh. Masroeri dan Mbah Putri (Alm) Ummi Qulsum. Bapakku adalah anak pertama dan sekaligus anak laki laki pertama dari 10 bersaudara, maka kalau dilihat dari bonggol sejarah Mbah Moh. Masroeri, maka aku adalah cucu laki laki pertama dari anak laki laki pertama atau lazim disebut dalam teori heriditas adalah galur murni.
Karena terlahir sebagai anak pertama itulah maka bapak-ku tergolong seorang laki laki yang tangguh, bertanggung jawab dan trampil dalam segala hal. Bapaku juga pecinta ilmu pengetahuan dengan bukti buku buku yang dimilikinya cukup bervariasi, baik tentang Kejawen, ke-Islaman dan pengetahuan umum. Ia adalah sosok pengagum Bung Hatta, juga Buya Hamka terbukti dengan adanya buku tafsir al azhar yang komplit ada di perpustakaannya, juga untuk menambah wawasan kekinian, layaknya orang desa yang masih sangat terbatas, beliau bersikeras untuk menyempatkan sebagian dananya untuk berlangganan majalah tempo serta majalah panji masyarakat yang sudah terbiasa aku baca sejak aku berada di bangku sekolah dasar dahulu.
Dalam sejarahnya, bapakku adalah sosok manusia yang dibekali talenta yang cukup bervariasi. Ia pandai menjahit segala jenis pakaian , memasak segala jenis masakan, bahkan trampil dalam bermusik terutama memainkan gitar dan beberapa alat musik lainnya. Aku masih teringat bahwa, pakaian seragam dan pakaian lebaran anak anaknya sejak kecil sampai masa kuliah adalah karya jahitannya. Ketrampilan menjahit ini diwarisi dari ketrampilan orang tuanya (Simbahku). Disamping seorang petani wutun, simbahku di kecamatan Simo terkenal juga sebagai seorang yang mahir menjahit dan menerima jahitan umum sebagai usaha untuk menopang penghasilannya selain dari hasil tani, bahkan aku masih ingat bahwa setelan jas yang aku pakai saat ujian pendadaran skripsi-ku adalah jahitan Simbahku.
Masa muda bapak-ku juga dikenal sebagai seorang aktivis. Sejak usia anak anak saat menuntut ilmu di bangku sekolah rakyat, beliau sudah aktif di Hisbul Wathon (laskar serbaguna Muhammadiyyah), beliau juga aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia) dan pada masa perkuliahannya beliau juga aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Koordinator Komisariat (Korkom) Kecamatan Simo Boyolali, bahkan sampai masa tuanya kini beliau masih aktif di Muhammadiyyah.
Dari pengalaman tersebut, bapaku dikenal sebagai sosok yang kaya wawasan dan teman diskusi yang baik. Belia bukan sosok yang otoriter apalagi sosok yang garang dimata saya, bahkan seringkali argumentasinya saya patahkan dengan teori teori ilmu pengetahuan moderen, tetapi sekali lagi bapaku tidak pernah kehabisan ide, akal dan wawasan informasi. Selalu saja ada yang baru dan belum diceritakan pada kami kami anaknya.
Memang masa studi di bangku kuliah beliau di Universitas Islam Indonesia (UII) tidak bisa dirampungkannya karena alasan klasik, biaya yang tidak ada lagi…
Tapi sungguh semangat itu masih terpatri dalam benaknya juga benakku sebagai pewaris otak dan semangatnya.
Semangat untuk tetap belajar dan belajar.
Semangat untuk tetap membaca dan membaca.
Kata kata bapaku yang aku ingat sejak aku duduk di bangku SD dahulu adalah ketika beliau menyanyikan lagu Qosidahan dari grup qasidah terkenal dari Semarang “Nasida Ria” yang mendendangkan : “Belajar diwaktu kecil bagai mengukir diatas batu, belajar sesudah besar bagai mengukir diatas air”.
Itulah bapak-ku, inspiratorku. Dalam kesederhanaan dan kebersahajaannya yang memang tidak berlebihan sama sekali.