caping

caping adalah sebuah benda berbetuk kerucut yang terbuat anyaman bambu dan dipakai/dikenakan di kepala kita sebagaimana topi laken (ala koboi), Sombrero (ala Mexico), Sepa (ala Rote). Caping berguna sekali pada saat panas terik ataupun hujan lebat menimpa tubuh kita dalam menapaki suatu perjalanan.

Makanya caping lazim sekali dengan kehidupan masyarakat pedesaan dan keberadaannya mutlak sekali. Kedudukan caping sejajar dengan pacul/cangkul dan arit/sabit. Ia menjadi barang substitusional pada saat bertani ke sawah, pergi ke ladang untuk berkebun atau angon kambeng, bahkan ke pasar atau menghadiri kondangan sekalipun.

Caping adalah ciri kesederhanaan masyarakat pedesaan, demikian juga di desaku, desa ibu-ku

Caping sudah aku kenal sejak masa kanak kanak-ku yang aku habiskan di sebuah desa kecil daerah pegunungan sekitar 4 km dari tempat kelahiranku, Simo. Nama desa tempat bertumbuh-ku itu adalah Gunung Sari (dibaca : Nggunung Sari ) ya, karena tipologi dan strktur tanahnya bagaikan perbukitan/pegunungan.

Rumah rumah penduduknya tidak ada yang berdiri sejajar, selalu beda jika itu diukur dari Atas Permukaan Laut (DPL), karena keadaan itulah jangan berharap di desa ini terdapat sepeda, atau ada orang yang bisa naik sepeda (maksudnya : sepeda onthel), bahkan Ibu-ku sendiri yang berprofesi layaknya “Guru Oemar Bakri” dengan sepeda kumbang-nya, sampai batas masa pensiunnya tidak pernah bisa naik sepeda layaknya sepeda kumbang Oemar Bakri.

Tradisi dan kehidupan kampung itu terkesan sederhana bahkan sangat sederhana, terbukti sejak aku kecil sampai hari ini (sudah sekitar 40 tahun) belum ada perubahan yang nyata dan berarti dari kampung-ku itu, yang berbeda hanyalah sekarang sudah ada listrik, jalan penghubung antar desa sudah beraspal meskipun disana sini sudah terlihat rusak, juga sudah tersedia air minum desa (Pam Des) yang mengalirnya bergantian (antri) karena terbatasnya dan mahalnya air.

Kecuali beberapa keluarga yang sudah mengebor sendiri memanfaatkan air tanah dengan rata rata kedalaman 50 meter dan dengan bantuan mesin penyedot air (kata orang kampung/desaku : Sanyo meskipun merek alat itu sangat bervariasi, ada sanyo, DAG, DAB, Wasser, Grunfos, National, dan banyak lagi).

Air, bagi penduduk desaku adalah harta yang mahal. ia hanya terdapat di tidak lebih dari 5 sumber mata air, antara lain :

1. Mber Pegeng (Sumber Pegeng) : karena airnya dalam dan melimpah.

2. Mber Seto (Putih) : Karena mata air ini menghasilkan warna air yang cenderung bening putih.

3. Mber Duren : Karena berada dibawah naungan rerindangan pohon duren.

4. Mber Lumut : karena sumber itu banyak tumbuh lelumutan karena ke-dingin-annya dan ke-lembab-annya daerah itu.

5. Mber Lepen (sungai/kali) : karena sumber mata air itu terletak di pinggiran kali/sungai.

Sumber mata air itu menjadi dambaan dan pengharapan seluruh penduduk di desa ku itu.

Kondisi tanah di desaku adalah tanah tadah hujan, hijau rimbun pepohonan dan semak belukar dan tanahnya mathol jikalau musim penghujan datang dan kering kerontang, tandus jikalau musim kemarau tiba. Demikian juga keadaan sawah dan tegalan-nya (ladang-nya), makanya jangan heran jika satu tahun hanya panen padi satu kali saja dan hasilnya jauh dibawah angka rata rata hasil pertanian nasional Indonesia.

Dari karakteristik dan pola kehidupan masyarakat desa itulah, keberadaan caping menjadi begitu dominan. ia menjadi gawan (sesuatu yang harus dibawa) yang serbaguna.

Makanya aku menyebutnya caping adalah tidak sekedar topi atau penutup kepala sekaligus pelindung tubuh, tapi ia adalah tradisi. Tradisi kerakyatan, tradisi kesederhanaan.

Sesederhana penduduk desaku memaknai hidup ini

Leave a comment